Aspek Legal Pengadaan Barang dan Jasa (2)

|


1. Penyusunan Jadual Pelaksanaan Pengadaan

Kegiatan yang harus dilakukan adalah melaksanakan :

1.1. Perhitungan untuk Pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya :

• HPS harus dilakukan dengan cermat, dengan menggunakan data dasar dengan berbagai pertimbangan (HSU/HSPK dll)

• HPS telah memperhitungkan PPn dan biaya umum dan keuntungan yang wajar bagi penyedia barang/jasa

• HPS tiidak boleh memperhitungkan biaya tak terduga, biaya lain-lain dan P.Ph penyedia barang/jasa

1.2. Perhitungan untuk Pekerjaan Jasa Konsultasi

• Memperhatikan 2 komponen pokok yaitu Biaya Personil (Remuneration) yang meliputi : Profesional, Sub Profesional, teknis dan tenaga pendukung

• dan Biaya Langsung Non Personil (Direct Reimbursable Cost) yang meliputi: sewa kantor, perjalanan, pengiriman dokummen, pengurusan surat ijin, biaya komunikasi, tunjangan perumahan dll

• Penyusun /Pembuat HPS/OE dituntut pemahaman terhadap dokumen pengadaan dan seluruh tahapan pekerjaan yang akan dilaksanakan dan telah mendapatkan penataran pengadaan barang/jasa

• KAK dan HPS sebagai acuan dalam evaluasi penawaran, klarifikasi dan/atau negoisasi dengan calon konsultan terpilih. Dimungkinkan adanya perbedaan, namun sepanjang tidak mengubah sasaran, tujuan dan keluaran serta melampaui pagu.

2. Penyusunan Harga Perhitungan Sendiri (HPS/OE)

Kegiatan yang harus dilakukan adalah :

2.1. Menyusun perhitungan untuk Pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan /Jasa Lainnya :

• HPS harus dilakukan dengan cermat, dengan menggunakan data dasar dengan berbagai pertimbangan (HSU/HSPK dll)

• HPS telah memperhitungkan PPn dan biaya umum dan keuntungan yang wajar bagi penyedia barang/jasa

• HPS tidak boleh memperhitungkan biaya tak terduga, biaya lain-lain dan P.Ph penyedia barang/jasa.

2.2. Menyusun perhitungan untuk Pekerjaan Jasa Konsultasi

• Memperhatikan 2 komponen pokok yaitu Biaya Personil (Remuneration) yang meliputi : Profesional, Sub Profesional, teknis dan tenaga pendukung

• Biaya Langsung Non Personil (Direct Reimbursable Cost) yang meliputi: sewa kantor, perjalanan, pengiriman dokummen, pengurusan surat ijin, biaya komunikasi, tunjangan perumahan dll

Penyusun /Pembuat HPS/OE dituntut pemahaman terhadap dokumen pengadaan dan seluruh tahapan pekerjaan yang akan dilaksanakan dan telah mendapatkan penataran pengadaan barang/jasa (Lihat SE Bersama DJA dan BAPPENAS Nomor 1203/D.II/03/2000; SE-38/A/2000 Tgl 17 Maret 2000

• KAK dan HPS sebagai acuan dalam evaluasi penawaran, klarifikasi dan/atau negoisasi dengan calon konsultan terpilih. Dimungkinkan adanya perbedaan, namun sepanjang tidak mengubah sasaran, tujuan dan keluaran serta melampaui pagu.

3. Penyusunan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa

Kegiatan yang harus dilakukan adalah :

3.1. Menyusun Dokumen Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan/Jasa Lainnya

• Panitia mempersiapkan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa dengan mencantumkan secara jelas rinci semua persyaratan yang diperlukan baik administrasi maupun teknis, pengunaan PDN dan preferensi harga, unsur-unsur yang dinilai, kriteria, formula yang digunakan, jenis kontrak yang dipilih termasuk contoh-contoh formulir yang perlu diisi oleh calon penyedia barang/jasa

• Panitia juga menyiapkan dokumen pasca/prakualifikasi untuk calon penyedia barang/jasa (data administrasi, keuangan, personil, peralatan dan pengalaman kerja)

• Panitia menetapkan nilai nominal jaminan penawaran sebesar 1 % sampai dengan 3 % dari nilai HPS

• Dokumen pengadaan terdiri dari :

1. Dokumen pasca/prakualifikasi, jika prakualifikasi sekurang- kurangnya memuat pengumuman prakualifikasi dan tata cara penilaian

2. Dokumen pemilihan penyedia barang/jasa sekurang-kurangnya memuat undangan dan instruksi kepada peserta pengadaan,

3. Syarat-syarat umum kontrak, Syarat-syarat khusus kontrak, daftar kuantitas dan harga, spesifikasi teknis dan gambar, bentuk surat penawaran, bentuk kontrak, bentuk surat jaminan penawaran, bentuk surat jaminan pelaksanaan dan bentuk surat jaminan uang muka

3.2. Dokumen Pengadaan untuk Pekerjaan Jasa Konsultasi

• Panitia/pejabat pengadaan menyiapkan dan menyusun dokumen pengadaan yang terdiri dari dokumen pemilihan penyedia jasa dan dokumen prakualifikasi yang berupa formulir isian yang memuat data administrasi keuangan, personil dan pengalaman kerja.

• Dokumen pemilihan penyedia jasa terdiri dari: surat undangan kepada penyedia jasa konsultansi dan KAK serta RKS

4. Penilaian, studi kasus, formulir

4.1. Penilaian Kualifikasi pekerjaan jasa pemborongan, pemasokan barang/jasa Lainnya terdiri dari :

• Formulir 1 : Form isian Penilaian Kualifikasi yang terdiri dari:

Form 1a (Surat pernyataan minat untuk mengikuti pengadaan,

Form 1b (Pakta Integritas),

Form 1c (Isian Penilaian Kualifikasi) yang meliputi :

A. Data administrasi,

B. Ijin Usaha,

C. Landasan Hukum Pendirian Perusahaan,

D. Pengurus (1.Komisaris dan 2. Direksi),

E.Data Keuangan (1.Susunan kepemilikan Saham, 2.Pajak dan 3.Neraca Perusahaan Terakhir per tanggal/bulan/tahun),

F.Data Perso nalia,

G. Data Peralatan/perlengkapan dan

H. Data pengalaman perusahaan serta modal kerja

4.2. Penilaian Kualifikasi pekerjaan jasa Konsultansi terdiri dari :

• Formulir 2a (Surat pernyataan minat untuk mengikuti pengadaan,

• Formulir 2b (Pakta Integritas),

• Formulir 2c (Isian Penilaian Kualifikasi yang meliputi Data administrasi:

A.Ijin Usaha,

B. Pengurus (1.Komisaris dan 2. Direksi),

C.Data Keuangan (1.Susunan kepemilikan Saham, 2.Pajak ,

D.Data Personalia,

E. Data Pengalaman Perusahaan 7 (tujuh) Tahun Terakhir dan

F. Data Pekerjaan Yang sedang dilaksanakan.

4.3. Formulir lain yang diperlukan :

a) Bentuk Surat penawaran,

b) Bentuk kontrak,

c) Bentuk surat jaminan penawaran,

d) Bentuk surat jaminan pelaksanaan

e) Ban bentuk surat jaminan uang muka

4.4. Formulir untuk Jasa Konsultansi :

a) Contoh Kerangka Acuan Kerja ( KAK)

b) Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS)

Aspek Legal Pengadaan Barang dan Jasa (1)

|


1. Penunjukan kepada Pengguna Barang/Jasa

Kegiatan yang harus dilakukan adalah : Penerbitan Surat Keputusan Penunjukan Pengguna Barang/Jasa

(1). Setelah menerima SK Penunjukn pengguna barang/jasa, membuat persiapan-persiapan yang berhubungan dengan tugas dan fungsinya.

(2). Pengguna barang/jasa diharuskan mengetahui pentingnya perencanaan

(3). Mengetahui tugas pokok dan syarat-syarat sebagai pengguna barang/jasa

(4). Mengadakan penelitian dokumen anggaran

(5). Membuat perencanaan berkenaan dengan pagu dana yang akan dikelola/menjadi tanggung jawabnya (Kepmen Kimpraswil tanggal 21 Agustus 2002 No. 332/KPTS/M/2002 tentang pedoman teknis pembangunan Bangunan Gedung Kantor)

(6). Perencanaan pangadaan barang/jasa (termasuk PBJ secara swakelola) mulai dari rencana kegiatan, penyusunan KAK, jadual pelaksanaan pekerjaan/kegiatan, rencana Biaya Pekerjaan/Kegiatan dan jika pekerjaan tersebut dilaksanakan oleh Masyarakat/LSM

2. Pembentukan Panitia/Pejabat Pengadaan

Kegiatan yang harus dilakukan adalah : Meyusun team kerja dengan memperhatikan syarat-syarat pembentukannya sesuai dengan psl.10 ayat 1 dan 2 Keppres 80/2003

Dalam penyusunan Panitia/Pejabat Pengadaan harus memperhatikan :

(1). Untuk PBJ yang nilainya dibawah 50 juta, Pejabat Pengadaannya hanya 1 (satu) orang; dengan syarat memahami tata cara pengadaan, substansi pekerjaan/kegiatan ybs

(2). Berjumlah 3(tiga) orang untuk pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya s.d. Rp. 500 juta atau untuk pengadaan jasa konsultasi s.d. Rp. 200 juta

(3). Berjumlah 5 (lima) orang untuk pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya dengan nilai diatas Rp. 500 juta atau untuk pengadaan jasa konsultasi diatas. Rp. 200 juta

3. Pemaketan Pekerjaan

Kegiatan yang harus dilakukan adalah : Pejabat Pengguna Barang/Jasa bersama Panitia penggadaan barang/jasa wajib memaksimalkan penggunan produksi dalam negeri dan perluasan kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil

(1). Pengguna barang/jasa diwajibkan :

a) menetapkan sebanyak-banyaknya paket pengadaan untuk usaha kecil termasuk koperasi kecil tanpa mengabaikan prinsip efisiensi, kesatuan sistem barang/jasa, kualitas dan kemampuan teknis usaha kecil termasuk koperasi kecil;

b) mengumumkan secara luas paket-paket pekerjaan dan rencana pelaksanaan pengadaan sebelum proses pemilihan penyedia barang/jasa dimulai.

(2). Pengguna barang/jasa dilarang :

a) memecah pengadaan barang/jasa menjadi beberapa paket dengan maksud untuk menghindari pelelangan;

b) menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di beberapa daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di daerah masing-masing;

c) menyatukan/menggabung beberapa paket pekerjaan yang menurut sifat pekerjaan dan besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh usaha kecil termasuk koperasi kecil menjadi satu paket pekerjaan untuk dilaksanakan oleh perusahaan/koperasi menengah dan/atau besar;

d) menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.

(3). Jadual Pelaksanaan Pekerjaan

a). Jadual pelaksanaan pekerjaan meliputi: pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa, waktu mulai dan berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, dan waktu serah terima akhir hasil pekerjaan;

b). Pembuatan jadual pelaksanaan pekerjaan disusun sesuai dengan waktu yang diperlukan serta dengan memperhatikan batas akhir tahun anggaran/batas akhir efektifnya anggaran.

(4). Biaya Pengadaan : Pengguna barang/jasa wajib menyediakan biaya yang diperlukan untuk proses pengadaan.

4. Penetapan system Pengadaan yg.dilaksanakan Penyedia Barang/Jasa Kegiatan yang harus dilakukan adalah :

4.1. Penetapan Metoda Pemilihan Penyedia Barang Jasa Pemborongan /Jasa Lainnya :

• Metoda pemilihan Penyedia barang/jasa Pemborongan/Jasa lainnya (Prinsip :Pelelangan Umum, Pelelangan Terbatas jika pekerjaan kompleks, Pemilihan Langsung dengan nilai s.d. Rp. 100 juta dan Penunjukan Langsung (keadaan tertentu -> skala kecil dengan nilai maks Rp. 50 juta dan barang/jasa khusus -> spesifik dan teknologi khusus)

• Metoda pemilihan Penyedia Jasa Konsultasi: Prinsip Seleksi Umum, Seleksi Terbatas jika pekerjaan kompleks, Seleksi Langsung dengan nilai s.d. Rp. 100 juta dan Penunjukan Langsung (keadaan darurat -> skala kecil dengan nilai maks Rp. 50 juta dan barang/jasa tunggal -> hak paten

4.2. Penetapan metoda Penyampaian Dokumen Penawaran :

• Metoda Satu sampul (pekerjaan yang sederhana) mis ATK

• Metoda dua sampul (evalusasi teknis yang lebih mendalam) misalnya pengadaan peralatan dan mesin yang tidak sederhana

• Metoda Dua Tahap (teknologi tinggi, kompleks dan resiko tinggi misalnya kontrak terima jadi /turnkey, rancang bangun rekayasa dan pembangkit tenaga listrik tenaga nuklir)

4.3. Penetapan metoda Evaluasi Penawaran :

• Kriteria dan Tata cara evaluasi ( hal 85 Keppres 80 Tahun 2003)

• Evaluasi penawaran untuk pengadaan barang/jasa pemborongan/Jasa lainnya dengan :

1. Sistem gugur (Evaluasi Administrasi, Teknis dan harga)

2. Sistem Nilai (Merit Point System)

-> Evaluasi Administrasi, Teknis dan harga,

3. Sistem Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis (Economic Life Cycle Cost) -> Evaluasi Administrasi Teknis dan harga

• Evaluasi penawaran Untuk Pengadaan Jasa Konsultasi

1. Metoda Evaluasi berdasarkan Kualitas

2. Metoda Evaluasi berdasarkan Kualitas Teknis dan Biaya

3. Metode Evaluasi Pagu Anggaran

4. Metode Evaluasi Biaya terendah

5. Untuk pengadaan barang/jasa pemborongan/Jasa lainnya dengan :

1. Sistem gugur (Evaluasi Administrasi, Teknis dann harga)

2. Sistem Nilai (Merit Point System)  Evaluasi Administrasi, Teknis dan harga,

3. Sistem Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis (Economic Life Cycle Cost) -> Evaluasi Administrasi, Teknis dan harga

Pengelolaan BMKN (3)

|


7. Penilaian, Penghapusan, Pemindahtanganan, Penatausahaan.

PENILAIAN

Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/ daerah. Penetapan nilai barang milik negara/daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/ daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).

(1) Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang.

(2) Penilaian barang milik negara/ daerah berupa tanah dan/ atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh gubernur/ bupati/walikota, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh gubernur/ bupati/ walikota.

(3) Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan NJOP.

(4) Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh:

a. pengelola barang untuk barang milik negara;

b. gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah

PELAKSANAAN

(1) Penilaian barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan dalam rangka pemanfaatan dan pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengguna barang.

(2) Penilaian barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengelola barang.

(3) Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar.

(4) Hasil penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh:

a. pengguna barang untuk barang milik negara;

b. pengelola barang untuk barang milik daerah.

PENGHAPUSAN

Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi:

a. penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna;

b. penghapusan dari daftar barang milik negara/daerah.

(1) Penghapusan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf (a), dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang;

(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat keutusan penghapusan dari:

a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk barang milik negara;

b. pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota atas usul pengelola barang untuk barang milik daerah.

(3) Pelaksanaan atas penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya dilaporkan kepada pengelola barang.

Penghapusan diikuti dengan pemusnahan :

(1) Penghapusan barang milik negara/daerah dari daftar barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 huruf b dilakukan dalam hal barang milik negara/daerah di maksud sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau karena sebab-sebab lain.

(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari:

a. pengelola barang untuk barang milik negara;

b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota untuk barang milik daerah.

Persyaratan Penghapusan diikuti dengan pemusnahan :

(1) Penghapusan barang milik negara/daerah dengan tindak lanjut pemusnahan dilakukan apabila barang milik negara/ daerah dimaksud:

a. tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat dipindahtangankan; atau

b. alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.

(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:

a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang miliki negara;

b. pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah mendapat persetujuan ubernur/ bupati/walikota untuk barang milik daerah.

(3) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara dan dilaporkan kepada pengelola barang.

PEMINDAHTANGANAN

Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tidak lanjut atas penghapusan barang milik negara/daerah meliputi:

a. penjualan;

b. tukar-menukar;

c. hibah;

d. penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.

(1) Pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk:

a. tanah dan/atau bangunan;

b. selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR.

(2) Pemindahtanganan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 untuk:

a. tanah dan/atau bangunan;

b. selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dilakukan setelah mendapat persetujuan DPRD.

(3) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a tidak memerlukan persetujuan DPR/DPRD, apabila:

a. sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;

b. harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran;

c. diperuntukkan bagi pegawai negeri;

d. diperuntukkan bagi kepentingan umum;

e. dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan, yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.

Proses Perolehan Persetujuan :

(1) Usul untuk memperoleh persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) diajukan oleh pengelola barang.

(2) Usul untuk memperoleh persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) diajukan oleh gubernur/bupati/walikota.

Pelaksanaan Pemindahtanganan :

(1) Pemindahtanganan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan Presiden;

b. untuk tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang;

(2) Pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.

Pemindahtanganan untuk selain tanah dan bangunan :

(1) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

(2) Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan Presiden;

(3) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh pengelola barang.

Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.

PENJUALAN

Barang

(1) Penjualan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:

a. untuk optimalisasi barang milik negara yang berlebih atau idle;

b. secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual;

c. sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-udangan yang berlaku.

(2) Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan secara lelang,kecuali dalam hal-hal tertentu.

(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. barang milik negara/daerah yang bersifat khusus;

b. barang milik negara/daerah lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh pengelola barang.

Tanah dan Bangunan

(1) Penjualan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh:

a. pengelola barang untuk barang milik negara;

b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

(2) Penjualan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh:

a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara;

b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

Selain Barang, Tanah dan Bangunan

(1) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf (a) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. kuasa pengguna barang mengajukan usul kepada pengguna barang untuk diteliti dan dikaji;

b. pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola barang;

c. pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya;

d. pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna barang dalam batas kewenangannya;

e. untuk penjualan yang memerlukan persetujuan Presiden atau DPR, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud;

f. penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada butir e dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden atau DPR.

(2) Penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b dilakukan denagn ketentuan sebagai berikut:

a. pengguna barang mengajukan usul penjualan kepada pengelola barang;

b. pengelola barang meneliti dan mengkaji usul penjualan yang diajukan oleh pengguna barang sesuai dengan kewenangannya;

c. pengelola barang mengeluarkan keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui usulan penjualan yang diajukan oleh pengguna barang dalam batas kewenangannya;

d. untuk penjualan yang memerlukan persetujuan gubernur/bupati/walikota atau DPRD, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan pertimbangan atas usulan dimaksud.

(3) Penerbitan persetujuan pelaksanaan oleh pengelola barang untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atau DPRD.

(4) Hasil penjualan barang milik negara/daerah wajib disetor seluruhnya ke rekening kas umum negara/daerah sebagai penerimaan negara/daerah.

TUKAR MENUKAR (ruistlaag)

(1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:

a. untuk memenuhi kebutuhan operasional penyelenggaraan pemerintahan;

b. untuk optimalisasi barang milik negara/daerah; dan

c. tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.

(2) Tukar menukar barang milik negara dapat dilakukan dengan pihak:

a. pemerintah daerah;

b. badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah lainnya;

c. swasta.

(3) Tukar menukar barang milik daerah dapat dilakukan dengan pihak:

a. pemerintah pusat;

b. badan usaha milik negara/daerah atau badan hukum milik pemerintah lainnya;

c. swasta.

WUJUD TUKAR MENUKAR

(1) Tukar menukar barang milik negara/daerah dapat berupa:

a. tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah;

b. tanah dan/atau bangunan yang masih dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang tetapi tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;

c. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.

(2) Penetapan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh:

a. pengelola barang untuk barang milik negara;

b.gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas kewenangannya.

(3) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh:

a. pengelola barang untuk barang milik negara;

b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

(4) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh:

a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara;

b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

(5) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

(1) Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pengelola barang mengkaji perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;

b. pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan sesuai batas kewenangannya;

c. tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses persetujuan dengan berpedomam pada ketentuan pada Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1);

d. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

(2) Tukar menukar barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai alasan/pertimbangan, kelengkapan data, data hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang;

b. penegelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;

c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai dengan batas kewenangannya;

d. pengguna barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman pada persrtujuan pengelola barang;

e. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

(1) Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagaimana berikut:

a. pengelola barang mengajukan usul tukar menukar tanah dan/atau bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai alasan/pertimbangan, dan kelengkapan data;

b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji alasan.pertimbangan perlunya tukar menukar tanah dan/atau bangunan dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;

c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, gubernur/bupati/walikota dapat mempertimbangkan untuk menyetujui dan menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan;

d. tukar menukar tanah dan/atau bangunan dilaksanakan melalui proses persetujuan dengan berpedoman pada kententuan pada Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2);

e. pengelola barang melaksanakan tukar menukar dengan berpedoman pada persetujuan gubernur/bupati/walikota;

f. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

(2) Tukar menukar barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) buruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang;

b. pengelola barang meneliti dan mengkaji alasan/pertimbangan tersebut dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;

c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya;

d. pengguna barang melaksanakan tukar-menukar dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang;

e. pelaksanaan serah terima barang yang dilepas dan barang pengganti harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

HIBAH

(1) Hibah barang milik negara/daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.

(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. bukan merupakan barang rahasia negara;

b. bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak;

c. tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.

WUJUD HIBAH

(1) Hibah barang milk negara/daerah dapat berupa:

a. tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kepada pengelola barang untuk barang milik negara dan ubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah;

b. tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan sesuai yang tercantum dalam dokumen penganggaran;

c. barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.

(2) Penetapan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh:

a. pengelola barang untuk barang milik negara;

b. gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah, sesuai batas kewenangannya.

(3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh:

a. pengelola barang untuk barang milik negara;

b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat 91) huruf b dilaksanakan oleh:

a. pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk barang milik negara;

b. pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik daerah.

(5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

(1) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pengelola barang mengkaji perlunya hibah berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;

b. pengelola barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan sesuai batas kewenangannya;

c. proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1);

d. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

(2) Hibah barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pengguna barang mengajukan usulan kepada pengelola barang disertai dengan alasan/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang;

b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;

c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya;

d. pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang;

e. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang. Pasal 61

(1) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pengelola barang mengajukan usul hibah tanah dan/atau bangunan kepada gubernur/bupati/walikota disertai dengan alasan/pertimbangan, dan kelengkapan data;

b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58;

c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, gubernur/bupati/walikota dapat mempertimbangkan untuk menetapkan dan/atau menyetujui tanah dan/atau bangunan yang akan dihibahkan;

d. proses persetujuan hibah dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2);

e. pengelola barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan Gubernur/bupati/walikota;

f. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam berita acara serah terima barang.

(2) Hibah barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. pengguna barang mengajukan usulan kepada Pengelola Barang disertai alas an/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi pengguna barang;

b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat sebagaimana dimaksud dalam

c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya;

d. pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan pengelola barang;

e. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam acara serah terima barang.

PENATAUSAHAAN

Pembukuan

(1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah ke dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP)/Daftar Barang Pengguna (DBP) menurut penggolongan dan kodefikasi barang.

(2) Pengelola barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam Daftar Barang Milik Negara/Daerah (DBMN/D) menurut penggolongan barang dan kodefikasi barang.

(3) Penggolongan dan kodefikasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(4) Penggolongan dan kodefikasi barang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan.(Pasal 67)

Penyimpanan

(1) Kuasa pengguna barang/pengguna barang harus menyimpan dokumen kepemilikan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya.

(2) Pengelola barang harus menyimpan dokumen kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang berada dalam pengelolaannya. (Pasal 68)

Inventarisasi

(1) Pengguna barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1), terhadap barang milik negara/daerah yang berupa persediaan dan konstruksi dalam pengerjaan, pengguna barang melakukan inventarisasi setiap tahun.

(3) Pengguna barang menyampaikan laporan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada pengelola barang selambat-lambatnya tiga bulan setelah selesainya inventarisasi.(Pasal 69)

Ketentuan inventarisasi :

Pengelola barang melakukan inventarisasi barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang berada dalam penguasaannya sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. (Pasal 70) Pelaporan

(1) Kuasa pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Kuasa Pengguna Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT) untuk disampaikan kepada pengguna barang.

(2) Pengguna barang harus menyusun Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) untuk disampaikan kepada pengelola barang.

(3) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan.

(4) Pengelola barang harus menghimpun Laporan Barang Pengguna Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) Pengelola barang harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) berdasarkan hasil penghimpun-an laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).(Pasal 71).

Bahan pembuatan NERACA

Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat/daerah. (Pasal 72)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan barang milik Negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.(Pasal 73

8. Pengendalian dan Pengawasan serta Pembinaan

PENGENDALIAN

(1) Pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan, dan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada di bawah penguasaannya.

(2) Pelaksanaan pemantauan dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang.

(3) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil pemantauan dan penertiban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Kuasa pengguna barang dan pengguna barang menindaklanjuti hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai ketentuan perundang-undangan.(Pasal 75).

PENGAWASAN

(1) Pengelola barang berwenang untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah, dalam rangka penertiban penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah sesuai ketentuan yang berlaku.

(2) Sebagai tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk melakukan audit atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah.

(3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pengelola barang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundang-undangan. (Pasal 76)

PEMBINAAN

(1) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum pengelolaan barang milik negara/daerah.

(2) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik negara.

(3) Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan teknis dan melakukan pembinaan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan sebagaimana ayat (1).

9. GANTI RUGI dan SANKSI

(1) Setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran hukum atas pengelolaan barang milik negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundangundangan.

(2) Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengelolaan BMN (2)

|


6.3. PEMANFAATAN

6.3.1. Kriteria Pemanfaatan :

(1) Pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud (dalam ayat :” Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan “) dilaksanakan oleh pengelola barang.

(2) Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud (dalam ayat:” Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan”) dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.

(3) Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang.

(4) Pemanfaatan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang.

(5) Pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum

6.3.2. Bentuk-bentuk Pemanfaatan

6.3.2.1. SEWA

(1) Penyewaan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan bentuk:

a. penyewaan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola;

b. penyewaan barang milik daerah atas tanah dan/atau bengunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/walikota;

c. penyewaan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) PP 6/2006;

d. penyewaan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan.

(2) Penyewaan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang.

(3) Penyewaan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.

(4) Penyewaan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan d, dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

PARA PIHAK, JANGKA WAKTU, TARIF, PERJANJIAN, HASIL SEWA

(1) Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain sepanjang menguntungkan negara/daerah.

(2) Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang.

(3) Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut, ditetapkan pada:

a. barang milik negara oleh pengelola barang;

b. barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota.

(4) Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa, yang sekurang-kurangnya memuat:

a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;

b. jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu;

c. tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan;

d. persyaratan lain yang dianggap perlu.

(5) Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah.

6.3.2.2. PINJAM PAKAI

(1) Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah.

(2) Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang.

(3) Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat:

a. pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian;

b. jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan jangka waktu;

c. tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman;

d. persyaratan lain yang dianggap perlu.

6.3.2.3. KERJASAMA PEMANFAATAN

Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka:

a. mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah

b. meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.

BENTUK KERJASAMA

(1) Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan bentuk:

a. kerjasama pemanfaatan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola barang;

b. kerja sama pemanfaatan barang milik daerah atas tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/ walikota;

c. kerja sama pemfaatan atas sebagian tanah dan /atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang;

d. kerja sama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan,

(2) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola barang.

(3) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/ walikota.

(4) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaskud dalam ayat (1) huruf c dan d dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

KETENTUAN KERJASAMA

(1) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi biaya operasional/pemeliharaan/ perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik negara/daerah di maksud;

b. mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/peminat, kecuali untuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung;

c. mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke rekening kas umum negara/daerah setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil kerjasama;

d. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;

e. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama pemanfaatan harus mendapat persetujuan pengelola barang;

f. selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemafaatan dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik negara/daerah yang menjadi obyek kerjasama pemanfaatna;

g. jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.

(2) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.

6.3.2.4. BANGUN GUNA SERAH DAN BANGUN SERAH GUNA ( B G S dan B S G )

(1) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara/daerah dapat dilaksanakan dengan persyaratan sebagai berikut:

a. Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi; dan

b. Tidak tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah untk penyediaan bangunan dan fasilitas dimaksud.

(2) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik Negara sebagaimana di maksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola barang.

(3) Bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat pesetujuan gubernur/bupati/walikota.

(4) Tanah yang status penggunaanya ada pada pengguna barang dan telah dapat direncanakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang yang bersangkutan dapat dilakukan bangun guna serah dan bangun serah guna setelah terlebih dahulu diserahkan kepada:

a. pengelola barang untuk barang milik negara;

b. gubernur /bupati /walikota untuk barang milik daerah.

(5) Bangun guna serah dan bangun serah guna sebagaimaa dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh pengelola barang dengan mengikutsertakan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang sesuai tugas pokok dan fungsinya.

PENETAPAN

Penetapan status penggunaan barang milik negara/ daerah sebagai hasil dari pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan oleh:

a. pengelola barang untuk barang milik negara, dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga terkait;

b. gubernur/ bupati/ walikota untuk barang milik daerah, dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi satuan kerja perangkat daerah tekait.

JANGKA WAKTU

(1) Jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna paling lama tiga puluh tahun sejak perjanjian ditandatangani.

(2) Penetapan mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna dilaksanaka melalui tender dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/ peminat.

(3) Mitra bangun guna serah dan mitra bangun serah guna yang telah ditetapkan, selama jangka waktu pengoperasian harus memenuhi kewajiban sebagai berikut:

a. membayar kontribusi ke rekening kas umum negara/ daerah setiap tahun, yang besarannya ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh pejabat yang berwenang;

b. tidak menjaminkan, menggadaikan atau memindahkantangankan objek bangun guna serah dan bangun serah guna;

c. memelihara objek bangun guna serah dan bangun serah guna.

(4) Dalam jangka waktu pengoperasian, sebagai barang milik negara/daerah hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus dapat digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

(5) Bangun guna serah dan bangun serah guna dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang sekurang-kurangnya memuat:

a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian ;

b. objek bangun guna serah dan bangun serah guna;

c. jangka waktu bangun guna serah dan bangun serah guna;

d. hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian;

e. persyaratan lain yang dianggap perlu.

(6) Izin mendirikan bangunan hasil bangun guna serah dan bangun serah guna harus diatasnamakan Pemerintah Republik Indonesia/ Pemerintah daerah.

(7) Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan bangun guna serah dan bangun serah guna tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

PENYERAHAN

(1) Mitra bangun guna serah barang milik negara harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada pengelola barang pada akhir jangka waktu pegoperasian, setelah dilakukan audit oleh aparat pegawasan fungsional pemerintah.

(2) Mitra bangun guna serah barang milik daerah harus menyerahkan objek bangun guna serah kepada gubernur/bupati/ walikota pada akhir jangka waktu pegoperasian, setelahdilakukan audit oleh aparat pegawasan fungsional pemerintah.

(3) Bangun serah guna barang milik kekayaan negara dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. mitra bangunan serah guna harus menyerahkan objek bangunan serah guna kepada pengelola barang segera setelah selesainya pembangunan;

b. mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;

c. setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh pegguna barang.

(4) Bangun serah guna barang milik kekayaan daerah dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. mitra bangunan serah guna harus menyerahkan objek bangunan serah guna kepada gubernur/ bupati/ walikota segera setelah selesainya pembangunan;

b. mitra bangun serah guna dapat mendayagunakan barang milik negara tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian;

c. setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek bangun serah guna terlebih dahulu diaudit oleh aparat pengawasan fungsional pemerintah sebelum penggunaannnya ditetapkan oleh gubernur/ bupati/walikota;

LAIN-LAIN

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangansebagai Juklak dari PP…..[PMK No?; PP no?]

6.4. PENGAMANAN

(1) Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya.

(2) Pengamanan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, pengamanan hukum.

SERTIFIKASI/BUKTI KEPEMILIKAN

(1) Barang milik negara/ daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan.

(2) Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang bersangkutan.

(3) Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukit kepemilikan atas nama pengguna barang

(4) Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi dengan bukit kepemilikan atas nama pemerintah daerah yang bersangkutan.

FILLING/PENYIMPANAN

(1) bukti kepemilikan barang milik negara/ daerah wajib disimpan dengan tertib dan aman.

(2) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan dilakukan oleh pengelola barang.

(3) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang.

(4) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik daerah dilakukan oleh pengelola barang.

6.5. PEMELIHARAAN

(1) Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas pemeliharaan barang milik negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya.

(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang (DKPB).

(3) Biaya pemeliharaan barang milik negara/daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Daerah.

EVALUASI

(1) Kuasa pengguna anggaran wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang yang berada dalam kewenangannya dan melaporkan/ menyampakan daftar hasil pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara berkala.

(2) Pengguna barangatau pejabat yang ditunjuk ,meneliti laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyusun daftar hasil pemeliharaan barang yang dilakukan dalam satu tahun anggaran sebagai bahan untuk melakukan evaluasi mengenai efisiensi pemeliharaan barang milik negara/ daerah.

PENGELOLAAN BMKN

|


1. Pengertian Barang Milik dan Kekayaan Negara

1. Barang milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang syah

2. Barang milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang syah

3. Perolehan yang sah meliputi :

a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;

b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;

c. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau

d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Dasar Hukum Pengelolaan BMKN

2.1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003

2.2. pasal 48 ayat (2) dan pasal 49 ayat (6) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004

2.3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 jo PP Nomor 38 Tahun 2008

3. Azas dan Lingkup Pengelolaan BMKN

3.1. Pengelolaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan asas: fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.(Lihat catatan Referensi dibawah).

3.2. Pengelolaan barang milik negara/daerah meliputi: (“disebut Siklus Barang”)

a. perencanaan kebutuhan dan penganggaran;

b. pengadaan;

c. penggunaan;

d. pemanfaatan;

e. pengamanan dan pemeliharaan;

f. penilaian;

g. penghapusan;

h. pemindahtanganan;

i. penatausahaan;

j. pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

4. Pejabat Pengelola BMKN

4.1. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola barang milik Negara

4.2. Gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah. (istilah saya : “Pemegang Kuasa Pengelola Barang Milik Daerah).

4.3. Menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian negara/lembaga adalah pengguna barang milik negara.

4.4. Kepala Kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah kuasa pengguna barang milik negara dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya.

4.5. Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah kuasa pengguna barang milik daerah dalam lingkungan kantor yang dipimpinnya.

5. Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran

5.1. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian negara/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah (RKA-KL-SKPD) setelah memperhatikan ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada.

5.2. Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga.

5.3. Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkoordinasi dengan instansi atau dinas teknis terkait.

5.4. Pengguna barang menghimpun usul rencana kebutuhan barang yang diajukan oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah lingkungannya.

5.5. Pengguna barang menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik negara/daerah kepada pengelola barang.

5.6. Pengelola barang bersama pengguna barang membahas usul tersebut dengan memperhatikan data barang pada pengguna barang dan/atau pengelola barang untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah (RKBMN/D).

6. Pengadaan, Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan

6.1. PENGADAAN

• Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip: efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/ tidak diskriminatif dan akuntabel. (cttn: Lihat Keppres 80 Th 2003)

• Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundan-undangan.( cttn: Lihat PP No. 36 Tahun 2005 >Perpres 36/2005)

• Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan pengadaan barang milik negara/daerah selain tanah diatur dengan Peraturan Presiden.

6.2. PENGGUNAAN

6.2.1. Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. barang milik negara oleh pengelola barang; dengan cara sebagai berikut :

• Pengguna barang melaporkan barang milik negara yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan

• Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status penggunaan barang milik negara dimaksud.

b. barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota; dengan tata cara sebagai berikut:

• Pengguna barang melaporkan barang milik daerah yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan;

• Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan mengajukan usul penggunaan dimaksud kepada gubernur/bupati/walikota untuk ditetapkan status penggunaannya.

6.2.2. Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah, dapat juga untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.

6.2.3. Penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang yang bersangkutan.

6.2.4. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan [sebagaimana dimaksud pada ayat (1)] kepada:

a. pengelola barang untuk barang milik negara; atau

(1) gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang untuk barang milik daerah.Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan.

(2) Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan.

b. Dalam menetapkan penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola barang memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

• standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan untuk menyelenggarakan dan menunjang tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan;

• hasil audit atas penggunaan tanah dan/atau bangunan.

c. Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal-hal sebagai berikut:

• ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya;

• dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi barang milik negara/daerah;

• dipindahtangankan

• Pengguna barang milik negara yang tidak menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan kepada pengelola barang dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud.

• Pengguna barang milik daerah yang tidak menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan kepada gubernur/bupati/walikota dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud.

• Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) dicabut penetapan status penggunaannya.

Badan Layanan Umum

|


1. STANDAR DAN TARIF LAYANAN

1.1. STANDAR LAYANAN :

(1) Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri /pimpinan lembara /gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dapat diusulkan oleh instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.

(3) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan nomor (2) harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.

1.2. TARIF LAYANAN :

(1) BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.

(2) Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.

(3) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) diusulkan oleh BLU kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya.

(4) Usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sebagaimana dimaksud pada nomor (3) selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.

(5) Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada nomor (3) dan nomor (4) harus mempertimbangkan:

a. kontinuitas dan pengembangan layanan;

b. daya beli masyarakat;

c. asas keadilan dan kepatutan; dan

d. kompetisi yang sehat.

2. PENGELOLAAN KEUANGAN BLU

1. Perencanaan dan Penganggaran

1.1. Perencanaan

(1). BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

(2). BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis sebagaimana dimaksud pada nomor (1).

(3). RBA sebagaimana dimaksud pada nomor (2) disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntansi biaya menurut jenis layanannya.

(4). RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD.

1.2. Penganggaran

(1) BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk dibahas sebagai bagian dari RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD.

(2) RBA sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disertai dengan usulan standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang akan dihasilkan.

(3) RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagai bagian RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD.

(4) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD.

(5) BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.

2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran BLU (DIPA/DPA)

(1) RBA BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 nomor (5) PP No.23 Tahun 2005 digunakan sebagai acuan dalam menyusun dokumen pelaksanaan anggaran BLU untuk diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangannya.

(2) Dokumen pelaksanaan anggaran BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) paling sedikit mencakup seluruh pendapatan dan belanja, proyeksi arus kas, serta jumlah dan kualitas jasa dan/atau barang yang akan dihasilkan oleh BLU.

(3) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling lambat tanggal 31 Desember menjelang awal tahun anggaran.

(4) Dalam hal dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada nomor (3) belum disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, BLU dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka dokumen pelaksanaan anggaran tahun lalu.

(5) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD sebagaimana dimaksud pada nomor (3) menjadi lampiran dari perjanjian kinerja (semacam “Petunjuk Operasional/PO-BLU”) yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan lembara/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, dengan pimpinan BLU yang bersangkutan.

(6) Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagaimana dimaksud pada nomor (3) menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD oleh BLU.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan, pengajuan, penetapan, perubahan RBA dan dokumen pelaksanaan anggaran BLU diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

3. Pendapatan dan Belanja

3.1. Pendapatan

(1) Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU.

(2) Pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU.

(3) Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan.

(4) Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya merupakan pendapatan bagi BLU.

(5) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (1), nomor (2), dan nomor (4) dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 PP No. 23 Tahun 2005.

(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (2), nomor (3), dan nomor (4) dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak(PNBP) kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah.

3.2. Belanja

(1) Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya yang dituangkan dalam RBA definitif.

(2) Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, mengikuti praktek bisnis yang sehat.

(3) Fleksibilitas pengelolaan belanja sebagaimana dimaksud pada nomor (2) berlaku dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA.

(4) Belanja BLU yang melampaui ambang batas fleksibilitas sebagaimana dimaksud pada nomor (3) harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan /gubernur /bupati/ walikota atas usulan menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.

(5) Dalam hal terjadi kekurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan tambahan anggaran dari APBN/APBD kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya.

(6) Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

4. Pengelolaan Kas

(1) Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut:

a. merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas;

b. melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan;

c. menyimpan kas dan mengelola rekening bank;

d. melakukan pembayaran;

e. mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan

f. memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.

(2) Pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat.

(3) Penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Rekening bank sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf c dibuka oleh pimpinan BLU pada bank umum.

(5) Pemanfaatan surplus kas sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf f dilakukan sebagai investasi jangka pendek pada instrumen keuangan dengan risiko rendah.

5. Pengelolaan Piutang dan Utang

5.1. Pengelolaan Piutang

(1) BLU dapat memberikan piutang sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, dan/atau transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan BLU.

(2) Piutang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

(3) Piutang BLU dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat oleh pejabat yang berwenang, yang nilainya ditetapkan secara berjenjang.

(4) Kewenangan penghapusan piutang secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada nomor (3) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5.2. Pengelolaan Utang

(1) BLU dapat memiliki utang sehubungan dengan kegiatan operasional dan/atau perikatan peminjaman dengan pihak lain.

(2) Utang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat.

(3) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka pendek ditujukan hanya untuk belanja operasional.

(4) Pemanfaatan utang yang berasal dari perikatan peminjaman jangka panjang ditujukan hanya untuk belanja modal.

(5) Perikatan peminjaman dilakukan oleh pejabat yang berwenang secara berjenjang berdasarkan nilai pinjaman.

(6) Kewenangan peminjaman sebagaimana dimaksud pada nomor (5) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota.

(7) Pembayaran kembali utang sebagaimana dimaksud pada nomor (1) merupakan tanggung jawab BLU.

(8) Hak tagih atas utang BLU menjadi kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.

6. Investasi

(1) BLU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Keuntungan yang diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan pendapatan BLU.

7. Pengelolaan Barang

7.1. PENGADAAN

(1) Pengadaan barang/jasa oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat.

(2) Kewenangan pengadaaan barang/jasa sebagaimana dimaksud pada nomor (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai yang diatur dalam Peraturan MenteriKeuangan/gubernur/bupati/walikota.

7.2. PENGELOLAAN

(1) Barang inventaris milik BLU dapat dialihkan kepada pihak lain dan/atau dihapuskan berdasarkan pertimbangan ekonomis.

(2) Pengalihan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan.

(3) Penerimaan hasil penjualan barang inventaris sebagai akibat dari pengalihan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) merupakan pendapatan BLU.

(4) Pengalihan dan/atau penghapusan barang inventaris sebagaimana dimaksud pada nomor (1), nomor (2), dan nomor (3) dilaporkan kepada menteri/ pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait.

(5) BLU tidak dapat mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap, kecuali atas persetujuan pejabat yang berwenang.

(6) Kewenangan pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud pada nomor (1) diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai dan jenis barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Penerimaan hasil penjualan aset tetap sebagai akibat dari pengalihan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) merupakan pendapatan BLU.

(8) Pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap sebagaimana dimaksud pada nomor (2) dan nomor (3) dilaporkan kepada mnteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait.

(9) Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan tugas pokok dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(10). Tanah dan bangunan BLU disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.

(11). Tanah dan bangunan yang tidak digunakan BLU untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya dapat dialihgunakan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait dengan persetujuan Menteri Keuangan /gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

8. Penyelesaian Kerugian Setiap kerugian negara/daerah pada BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah.

9. Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan

9.1. SISTEM INFORMASI BLU menerapkan sistem informasi manajemen keuangan sesuai dengan kebutuhan dan praktek bisnis yang sehat.

9.2. Sistem Akuntansi

(1) Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib.

(2) Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang diterbitkan oleh Asosiasi profesi akuntansi Indonesia.

(3) Dalam hal tidak terdapat standar akuntansi sebagaimana dimaksud pada nomor (2), BLU dapat menerapkan standar akuntansi industri yang spesifik setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

(4) BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi dengan mengacu pada standar akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis layanannya dan ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembara/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

9.3. PELAPORAN

(1) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 nomor (2) PP No. 23 Tahun 2005, setidak-tidaknya meliputi laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan mengenai kinerja.

(2) Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan oleh BLU dikonsolidasikan dalam laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada nomor (1).

(3) Lembar muka laporan keuangan unit-unit usaha sebagaimana dimaksud pada nomor (2) dimuat sebagai lampiran laporan keuangan BLU.

(4) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disampaikan secara berkala kepada menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, untuk dikonsolidasikan dengan laporan keuangan kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

(5) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD serta kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir.

(6) Laporan keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pertanggungjawaban keuangan kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

(7) Penggabungan laporan keuangan BLU pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah dilakukan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

(8) Laporan pertanggungjawaban keuangan BLU diaudit oleh pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

10. Akuntabilitas Kinerja

(1) Pimpinan BLU bertanggungjawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA.

(2) Pimpinan BLU mengihktisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU secara terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 nomor (1)PP Nomor 23 Tahun 2005.

11. Surplus dan Defisit

11.1. SURPLUS Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.

11.2. DEFISIT

(1) Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.

(2) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya dapat mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN/APBD tahun anggaran berikutnya.

Pengertian Badan Layanan Umum, Tujuan dan Azas BLU dan Persyaratan, Penetapan, Pencabutan Status BLU

|


Dasar Hukum :

UU NO.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 68 dan 69 :

Pasal 68

(1) Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

(2) Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan

(3) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.

(4) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.

Pasal 69

(1) Setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan.

(2) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah daerah.

(3) Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) dan nomor (2) dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah daerah yang bersangkutan.

(4) Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara/Daerah.

(5) Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.

(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada nomor (4) dan nomor (5) dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum yang bersangkutan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum diatur dalam peraturan pemerintah.

11. PENGELOLAAN KEUANGAN Badan Layanan Umum

11.1. PENGERTIAN BADAN LAYANAN UMUM

1.1. Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

1.2. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

1.3. Rencana Bisnis dan Anggaran BLU, yang selanjutnya disebut RBA, adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.

1.4. Standar Pelayanan Minimum adalah spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yang diberikan oleh BLU kepada masyarakat.

1.5. Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.

11.2. TUJUAN DAN AZAS

TUJUAN :

BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.

AZAS :

1.1. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.

1.2. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.

1.3. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.

1.4. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota.

1.5. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.

1.6. Rencana kerja dan anggaran(RKA-BLU) serta laporan keuangan dan kinerja BLU (LKK-BLU) disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran (RKA-KLPD) serta laporan keuangan dan kinerja (LKK-KLPD) kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.

1.7. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.

11.3. PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN STATUS BLU

3.1. PERSYARATAN :

(1) Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan: substantif, teknis, dan administratif.

(2) Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:

a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;

b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau

c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.

(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi apabila:

a. kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsi(TUPOKSI)nya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan

b. kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.

(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada nomor (1) terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut:

a. pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;

b. pola tata kelola;

c. rencana strategis bisnis;

d. laporan keuangan pokok;

e. standar pelayanan minimum; dan

f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.

(5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada nomor (4) disampaikan oleh unit instansi berkenaan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk mendapatkan persetujuan (rekomendasi) sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan/Gubernur /Bupati /Walikota, sesuai dengan kewenangannya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada nomor (4) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan /gubernur /bupati /walikota sesuai dengan kewenangannya.(Lihat : PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 07/PMK.02/2006)

3.2. PENETAPAN :

(1) Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan instansi pemerintah yang memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif untuk menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.

(2) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota menetapkan instansi pemerintah yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) untuk menerapkan PPK-BLU.

(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada nomor (2) dapat berupa pemberian status BLU secara penuh atau status BLU bertahap.

(4) Status BLU secara penuh diberikan apabila seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada nomor (3.1.) telah dipenuhi dengan memuaskan.

(5) Status BLU-Bertahap diberikan apabila persyaratan substantif dan teknis sebagaimana dimaksud dalam (3.1.) “ketentuan Persyaratan” nomor (2) dan nomor (3) telah terpenuhi, namun persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam “ketentuan Persyaratan” nomor (4) belum terpenuhi secara memuaskan.

(6) Status BLU-Bertahap sebagaimana dimaksud pada nomor (3) berlaku paling lama 3 (tiga) tahun.

(7) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterima dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD.

3.3. PENCABUTAN :

(1) Penerapan PPK-BLU berakhir apabila:

a. dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya;

b. dicabut oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota berdasarkan usul dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya; atau

c. berubah statusnya menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan.

(2) Pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf a dan huruf b dilakukan apabila BLU yang bersangkutan sudah tidak memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan/atau administratif sebagaimana ditentukan dalam ketentuan “3.1.Persyaratan”.

(3) Pencabutan status sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf c dilakukan berdasarkan penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, membuat penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU atau penolakannya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal usul pencabutan sebagaimana dimaksud pada nomor (1) huruf b diterima.

(5) Dalam hal jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada nomor (4) terlampaui, usul pencabutan dianggap ditolak.

(6) Instansi pemerintah yang pernah dicabut dari status PPK-BLU dapat diusulkan kembali untuk menerapkan PPK-BLU sesuai dengan ketentuan dalam ketentuan “3.1.Persyaratan”.

Ketentuan mengenai Pidana, Sanksi Administratif dan Ganti Rugi (1)

|


9.1. Aspek PIDANA pada pengelolaan Keuangan Negara

Undang-Undang tentang APBN/Perda tentang APBD merupakan pedoman pengelolaan keuangan dan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap pejabat pengelola keuangan dan setiap penyimpangan akan dikaitkan dengan adanya sanksi hukum. Sanksi hukum yang dikenakan berupa pemidanaan maupun sanksi administratif.

Setiap pejabat pengelola keuangan yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

9.2. Pengenaan Pidana berdasarkan Paket Undang-Undang Keuangan Negara

Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada uraian: “Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan”, ditemukan unsur pidana, Badan Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.

Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.

9.3. Pengenaan Pidana berdasarkan KUHP

Pasal-pasal pemidanaan dalam KUHP adalah : 209, 210, 387, 388, 415, 416,417, 418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.; dan tentang gratifikasi yakni pada pasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P. *)

9.4. Pengenaan Pidana berdasarkan Undang-Undang TIPIKOR ( Tindak Pidana Korupsi )

a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

b. barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara; dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

c. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana

*) Pasal dalam KUHP tersebut :

Pasal 209

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.

Pasal 210

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

2. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau adviseur untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diherikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1- 4 dapat dijatuhkan.

Pasal 387

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun seorang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan, yang pada waktu membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan, melakukan sesuatu perhuatan curang yang dapat membahayakan amanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas mengawasi pemhangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengaja membiarkan perbuatan yang curang itu.

Pasal 388

(1) Barang siapa pada waktu menyerahkan barang keperluan Angkatan Laut atau Angkatan Darat melakukan perbuat.an curang yang dapat membahayakan kesempatan negara dalam keadaan perang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang bertugas mengawasi penyerahan barang-barang itu, dengan sengaja membiarkan perbuatan yang curang itu.

Pasal 415

Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu,Wang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabaimnya, atau membiarkan uang atau surat berharga ihu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjsra paling 1ama tujuh tahun.

Pasal 416

Seorang pejabat atau orang lain yang diheri tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku buku-buku daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 417

Seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu yang sengaja menggelapkan, menghancurkan. merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan dimuka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang dikuasai nya karena jabatannya, atau memhiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau memhikin tak dapat di pakai barang-barang itu, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Pasal 418

Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya., hahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 419

Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat:

l. yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

2. yang menerinia hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat. atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pasal 420

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun:

1. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji. padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya;

2. barang siapa menurut ket.entuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu.

(2) Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 421

Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Pasal 422

Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan barana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 423

Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Pasal 435

Seorang pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta dalam pemborongan, penyerahan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian, dia ditugaskan mengurus atau mengawasinya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak delapan belas ribu rupiah.

1. Pengertian Sanksi Administratif

Hukuman yang dijatuhkan kepada Pegawai Negeri Sipil dan atau Calon Pegawai Negeri Sipil karena melanggar Peraturan perundangan, antara lain :

a. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil;

b. menyalahgunakan wewenangnya;

c. tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;

d. menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga milik negara;

e. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah;

f. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara;

g. melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya;

h. menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;

i. memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;

j. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;

k. melakukan sesuatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;

l. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;

m. membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain;

n. bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;

o. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya ;

p. memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya tetapi yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;

q. melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina (golongan ruang IV/a) ke atas atau yang memangku jabatan eselon I;

r. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain;

(PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1980 TENTANG PERATURAN DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL diubah dengan PP no.53 Th 2010)

2. Ketentuan mengenai Sanksi Administratif

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundangundangan pidana, Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang menghukum.

(1) Tingkat hukuman disiplin terdiri dari :

a. hukuman disiplin ringan;

b. hukuman disiplin sedang; dan

c. hukuman disiplin berat.

(2) Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari :

a. tegoran lisan;

b. tegoran tertulis; dan

c. pernyataan tidak puas secara tertulis.

(3) Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari :

a. penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun;

b. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; dan

c. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun.

(4) Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:

a. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun;

b. pembebasan dari jabatan;

c. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil; dan

d. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

3. Prosedur Pemeriksaan, Penjatuhan, dan Penyampaian Keputusan Hukuman

(1) Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, pejabat yang berwenang menghukum wajib memeriksa lebih dahulu Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu.

(2) Pemeriksaan dilakukan :

a. secara lisan, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin, sebagaimana nomor 2.(3) diatas.

b. secara tertulis, apabila atas pertimbangan pejabat yang berwenang menghukum, pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan akan dapat mengakibatkan ia dijatuhi salah satu jenis hukuman disiplin, sebagaimana nomor 2.(4) diatas.

(3) Pemeriksaan Pegawai Negeri Sipil yang disangka melakukan pelanggaran disiplin, dilakukan secara tertutup.

4. Pengertian Ganti Rugi dan Tuntutan Ganti Rugi berdasar UU No.1 /2004

Pasal 59 :

(1)Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2). Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut.

(3). Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak mana pun.

5. Prosedur dan ketentuan Ganti Rugi (UU No. 5 Tahun 1986 ttg PTUN dan Peraturan Pelaksanaannya)

Dalam sengketa Tata Usaha Negara, putusan Pengadilan yang mengabulkan permohonan tergugat yang berisi antara lain pencabutan atau pembatalan Keputusan TUN yang disengketakan, dan dalam hal segketa Kepegawaian ada juga pemberian Rehabilitasi dan Ganti Rugi, maka hal-hal mengenai Ganti Rugi diatur dalam:

Pasal 120

(1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

6. Prosedur dan ketentuan Tuntutan Ganti Rugi

Pasal 60 (UU NO 1 Tahun 2004) :

(1). Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara itu diketahui.

(2). Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian negara dimaksud.

(3). Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara, menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.